Dua pria ini menolak disebut kelainan. Tapi perilakunya yang menjadikan balon sebagai kebutuhan sehari-hari untuk dipeluk, dicium dan disayang-sayang membuat keduanya dinilai sebagai orang yang aneh.
Pria pertama bernama Dave, mantan guru piano dari Little Rock, Ark, yang menganggap balon sebagai anak kandungnya. Dave mengaku telah menjadi ayah dari 65.000 balon yang setiap hari ia peluk dan manjakan layaknya seorang anak.
"Beberapa orang mungkin berpikir saya melakukan hal lain dengan balon-balon ini, tapi sebenarnya tidak. Saya murni menyayangi balon-balon ini seperti anak saya," ungkap Dave.
Setiap malam, Dave memasukkan satu balon ke dalam kausnya sehingga terlihat seperti orang hamil dan lalu tidur bersama salah satu balon yang "terpilih" itu. Ia merasa nyaman memeluk balon itu dan merasakan ada kehangatan cinta.
"Mereka (balon) menciptakan sensasi seperti tidur di awan dan saya ingin merasakan cinta dari balon-balon yang sangat cantik ini," kata Dave.
"Rasanya begitu hangat. Saya percaya ini adalah anak-anak saya, mereka bagian dari diri saya dan membentuk sesuatu yang saya sebut sebagai keluarga," lanjut Dave seperti dilansir dari
abcnews, Jumat (17/8/2012).
Meski Dave mengaku tak punya ketertarikan seksual dengan balon-balonnya, tapi menurut Kimberly Resnick Anderson, terapis seks berlisensi dan direktur Sexual Health at Summa Health System di Akron, Ohio itu sebagai penyangkalan.
Menurutnya meski Dave mungkin bersikeras tak mempunyai ketertarikan seksual terhadap balon-balonnya, namun sebenarnya ada banyak orang yang memiliki kecenderungan itu.
Sementara menurut Dr. Rebecca Beaton, direktur dan pendiri Stress Management Institute, mencintai balon tampaknya memang tak begitu membahayakan.
Namun keterikatan dengan suatu benda dapat dianggap sebagai gangguan mental karena mengganggu kehidupan sehari-hari atau menyebabkan stres yang luar biasa.
"Saya kira ia kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain. Ketika ia menyelipkan sebuah balon ke dalam kausnya, rasanya seperti sebuah keintiman akan tetapi yang ia "gunakan" bukanlah manusia. Bagi mereka, manusia bisa saja melukai manusia lain, oleh karena itu mereka merasa lebih aman jika menggunakan benda mati agar tak begitu kesepian," tandas Beaton yang belum pernah mengobati Dave.
Pria kedua, yang juga jatuh cinta pada balon adalah Christopher. Pria ini mengaku suka memecahkan balon untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Bahkan obsesi Christopher terhadap balon begitu intens hingga ia memutuskan pindah dari Rutland, Vt. ke New York untuk memperluas fantasi seksual dengan balonnya.
Christopher mengaku suka mendemonstrasikan kecintaan erotisnya pada balon dengan memecahkannya.
"Makin besar balonnya maka saya akan makin cemas dan gugup lalu saya menjadi sangat senang," katanya. Christopher juga mengaku balon kesukaannya berwarna jingga.
Trik favoritnya adalah "menciutkan" balon. Ketika balon yang ia pegang panjangnya mencapai 14-15 inch (36-38 cm), Christopher memegang balon itu dan membentangkan lehernya hingga pecah.
"Ketika akhirnya balon itu meletus, itu adalah hal paling menarik dari balon itu sendiri. Rasanya begitu menenangkan dan hal ini penting bagi hidup saya," ungkapnya.
Uniknya, sesuatu yang benar-benar diinginkan Christopher adalah berbagi cintanya terhadap balon dengan seorang wanita.
Namun itulah poin utama dari obsesi ini, kata Beaton. Ketertarikan terhadap benda-benda seperti balon biasanya hanyalah "coping mechanism" atau mekanisme untuk mengelola ketidaknyamanan agar menjadi sesuatu yang bisa diterima oleh dirinya sendiri.
"Seseorang dengan gangguan mental semacam ini memilih sebuah benda yang karakteristiknya seperti manusia (walaupun sebenarnya bukan) untuk mendapatkan respons seksual," tutur Beaton.
"Pada beberapa kasus, keterikatannya sangat kuat hingga sulit untuk diubah. Mereka menggunakan balon untuk memenuhi kebutuhan akan adanya keintiman," pungkas Beaton.